Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 25 Januari 2013

MACROMEDIA BIOLOGI

SILAHKAN LIHAT :

SKALA GUTMAN UTK MOTIVASI BELAJAR


A.     KESIMPULAN    SKALA GUTMAN
Dari analisis di atas bisa disimpulkan bahwa dari 15 variabel yang diteliti, ternyata hanya 13 variabel yang bisa dianalisis lebih lanjut, karena dua variabel (Uji Realitas dan Tanggung Jawab Sosial) mempunyai angka MSA yang kurang dari 0,5 sehingga kedua variabel ini dikeluarkan dari analisis.
Dengan menggunakan dua metode yang berbeda, yaitu EFA dan CFA, didapat hasil sebagai berikut:
               Pada EFA, dari 15 indikator yang diuji didapatkan 13 indikator yang valid, yang tidak valid adalah indikator tanggung jawab sosial dan uji realitas.
Dari 13 variabel tersisa, diuji lanjut dengan analisis faktor (factoring) dengan proses ekstraksi menggunakan metode Komponen Utama (Principal Component Analysis) bisa direduksi menjadi 5 faktor, yaitu :
v  Faktor 1 : terdiri dari variabel Kesadaran Emosi, Problem Solving, Ketahanan Menanggung Stres, dan Optimisme. Jika faktor ini diberi nama maka bisa dinamakan faktor Penyesuaian Diri
v  Faktor 2 : terdiri dari variabel Sikap Asertif, Penghargaan Diri, dan Empati. Jika factor ini diberi nama maka bisa dinamakan factor Intrapersonal
v  Faktor 3 : terdiri dari variabel Aktualisasi Diri dan Hubungan Antar Pribadi. Jika faktor ini diberi nama maka bisa dinamakan faktor Interpersonal
v  Faktor 4 : terdiri dari variabel Sikap Fleksibel dan Kebahagiaan. Jika factor ini diberi nama maka bisa dinamakan factor Suasana Hati
v  Faktor 5 : terdiri dari variabel Kemandirian dan Pengendalian Impuls. Jika faktor ini diberi nama maka bisa dinamakan factor Penanganan Stress
               Pada CFA, dari 15 indikator yang diuji didapatkan 10 indikator yang valid, yang tidak valid adalah indikator tanggung jawab sosial, sikap asertif, penghargaan diri, problem solving dan uji realitas.





B.     DAFTAR  PUSTAKA

 

Djaali dan Pudji Mujiono. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo, 2008.
Latan, Hengky. Structural Equation Modelling. Bandung: Alfabeta, 2012.
Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan. Structural Equation Modelling. Jakarta: Salemba Infotek, 2009.

Sabtu, 19 Januari 2013

STATISTIK NON PARAMETRIK



STATISTIK NON-PARAMETRIK: CHI KUADRAT

(Lihat berbagai referensi dan masukkan/sinkronkan)


            Pada sebagian penelitian, variable-variabel yang diukur pada beberapa kelompok sample menghasilkan data nominal. Jika peneliti ingin menganalisisnya lebih lanjut terutama untuk pengujian hipotesis, maka teknik uji statistic yang paling tepat digunakan adalah Chi Square (Kai kuadrat). Data yang diukur signifikansi perbedaannya berupa frekuensi subyek pada beberapa variable atau gejala yang diukur. Chi kuadrat tergolong ke dalam statistika non parametric karena jenis data yang digunakan tergolong data nominal/diskrit.

Tujuan Pembelajaran
            Setelah mempelajari dengan seksama seluruh isi bab ini diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kompetensi yang dapat  menjadi dasar bagi pemahaman tentang bagaimana konsep dan aplikasi Chi kuadrat yang digunakan dalam konsep estimasi maupun pengujian hipotesis.

Relevansi
            Berkaitan dengan proses penelitian yang bertujuan untuk menganalisis signifikansi perbedaan frekuensi subyek pada satu atau lebih variable penelitian. Dasar pengujian yang digunakan adalah frekuensi sehingga berbeda dengan dasar pengujian dalam teknik t-test dan anava.

A. Pengertian Chi Kuadrat

            Chi kuadrat adalah suatu teknik dalam uji statistik yang digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan frekuensi pada data yang berskala nominal. Sementara pada t-tes dan anava (f-tes), data yang diuji signifikansi perbedaannya berskala interval. Walaupun sama-sama menguji signifkansi perbedaan, namun jenis-jenis uji statistik itu tidak dapat saling menggantikan.
            Skala nominal berkaitan dengan seberapa sering gejala/variabel tersebut muncul. Hasil penghitungannya berupa frekuensi. Skala interval dapat diubah menjadi skala nominal jika dikaitkan dengan frekuensi subyek pada suatu gejala. Misalnya: siswa SD kelas 6 ada yang memperoleh nilai matapelajaran matematika 70 dan 75. Kemudian didata kembali: berapa orang yang mendapat nilai 70 dan berapa orang yang mendapat nilai 75? Maka data yang didapat adalah frekuensi siswa pada masing-masing nilai tersebut: siswa yang mendapat nilai 70 sebanyak 23 orang dan siswa yang mendapat nilai 75 sebanyak 16 orang. Selanjutnya akan dilakukan pengujian: apakah perbedaan frekuensi tersebut signifikan dengan menggunakan Chi kuadrat. Demikianlah ilustrasi sederhana terkait dengan jenis skala dan data yang dihasilkan dalam suatu pengukuran. Dengan mengetahui jenis data yang dianalisis, maka pemilihan teknik uji statistik akan tepat.  (Lihat Materi Bab  VIII  Kuliah  Statistik)

SUPERVISI DAN FILSAFAT


SUPERVISI  DAN  FILSAFAT
  Istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Dalam Webster’s New World Dictionary istilah super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others” (1991:1343) sedangkan kata vision berarti “the ability to perceive something not actually visible, as through mental acuteness or keen foresight (1991:1492).
Supervisor adalah seorang yang profesional. Dalam menjalankan tugasnya, ia bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk melakukan supervise diperlukan kelebihan yang dapat melihat dengan tajam terhadap permasalahan peningkatan mutu pendidikan, menggunakan kepekaan untuk memahaminya dan tidak hanya sekedar menggunakan penglihatan mata biasa. Ia membina peningkatan mutu akademik melalui penciptaan situasi belajar yang lebih baik, baik dalam hal fisik maupun lingkungan non fisik.
Perumusan atau pengertian supervisi dapat dijelaskan dari berbagai sudut, baik menurut asal-usul (etimologi), bentuk perkataannya, maupun isi yang terkandung di dalam perkataanya itu (semantic). Secara etimologis, supervisi menurut S. Wajowasito dan W.J.S Poerwadarminta yang dikutip oleh Ametembun (1993:1) : “Supervisi dialih bahasakan dari perkataan inggris “Supervision” artinya pengawasan. Pengertian supervisi secara etimologis masih menurut Ametembun (1993:2), menyebutkan bahwa dilihat dari bentuk perkataannya, supervise terdiri dari dua buah kata super + vision : Super = atas, lebih, Vision = lihat, tilik, awasi. Makna yang terkandung dari pengertian tersebut, bahwa seorang supervisor mempunyai kedudukan atau posisi lebih dari orang yang disupervisi, tugasnya adalah melihat, menilik atau mengawasi orang-orang yang disupervisi.
Para ahli dalam bidang administrasi pendidikan memberikan kesepakatan bahwa supervisi pendidikan merupakan disiplin ilmu yang memfokuskan diri pada pengkajian peningkatan situasi belajar-mengajar, seperti yang diungkapkan oleh ( Gregorio, 1966, Glickman Carl D, 1990, Sergiovanni, 1993 dan Gregg Miller, 2003). Hal ini diungkapkan pula dalam tulisan Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika (Association for Supervision and Curriculum Development, 1987:129) yang menyebutkan sebagai berikut:

Supervisi yang lakukan oleh pengawas satuan pendidikan, tentu memiliki misi yang berbeda dengan supervisi oleh kepala sekolah. Dalam hal ini supervisi lebih ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada kepala sekolah dalam melakukan pengelolaan kelembagaan secara efektif dan efisien serta mengembangkan mutu kelembagaan pendidikan.
Dalam konteks pengawasan mutu pendidikan, maka supervisi oleh pengawas satuan pendidikan antara lain kegiatannya berupa pengamatan secara intensif terhadap proses pembelajaran pada lembaga pendidikan, kemudian ditindak lanjuti dengan pemberian feed back. (Razik, 1995: 559).

Rifa’i (1992: 20) merumuskan istilah supervisi merupakan pengawasan profesional, sebab hal ini di samping bersifat lebih spesifik juga melakukan pengamatan terhadap kegiatan akademik yang mendasarkan pada kemampuan ilmiah, dan pendekatannya pun bukan lagi pengawasan manajemen biasa, tetapi lebih bersifat menuntut kemampuan professional yang demokratis dan humanistik oleh para pengawas pendidikan.
Supervisi pada dasarnya diarahkan pada dua aspek, yakni: supervise akademis, dan supervisi manajerial. Supervisi akademis menitikberatkan pada pengamatan supervisor terhadap kegiatan akademis, berupa pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Supervisi manajerial menitik beratkan pada pengamatan pada aspek-aspek pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran.
Oliva (1984: 19-20) menjelaskan ada empat macam peran seorang pengawas atau supervisor pendidikan, yaitu sebagai: coordinator, consultant, group leader dan evaluator. Supervisor harus mampu mengkoordinasikan programs, goups, materials, and reports yang berkaitan dengan sekolah dan para guru. Supervisor juga harus mampu berperan sebagai konsultan dalam manajemen sekolah, pengembangan kurikulum, teknologi pembelajaran, dan pengembangan staf. Ia harus melayani kepala sekolah dan guru, baik secara kelompok maupun indivi- dual. Ada kalanya supervisor harus berperan sebagai pemimpin kelompok, dalam pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan pengem- bangan kurikulum, pembelajaran atau manajemen sekolah secara umum.
Gregorio (1966) mengemukakan bahwa ada lima fungsi utama supervisi, yaitu: sebagai inspeksi, penelitian, pelatihan, bimbingan dan penilaian. Fungsi inspeksi antara lain berperan dalam mempelajari keadaan dan kondisi sekolah, dan pada lembaga terkait, maka tugas seorang supervisor antara lain berperan dalam melakukan penelitian mengenai keadaan sekolah secara keseluruhan baik pada guru, siswa, kurikulum tujuan belajar maupun metode mengajar, dan sasaran inspeksi adalah menemukan permasalahan dengan cara melakukan observasi, interview, angket, pertemuan-pertemuan dan daftar isian.
Fungsi penelitian adalah mencari jalan keluar dari permasalahan yang berhubungan sedang dihadapi, dan penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur ilmiah, yakni merumuskan masalah yang akan diteliti, mengumpulkan data, mengolah data, dan melakukan analisa guna menarik suatu kesimpulan atas apa yang berkembang dalam menyusun strategi keluar dari permasalahan diatas.
Fungsi pelatihan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan keterampilan guru/kepala sekolah dalam suatu bidang. Dalam pelatihan diperkenalkan kepada guru cara-cara baru yang lebih sesuai dalam melaksanakan suatu proses pembelajaran, dan jenis pelatihan yang dapat dipergunakan antara lan melalui demonstrasi mengajar, workshop, seminar, observasi, individual dan group conference, serta kunjungan supervisi.
Fungsi bimbingan sendiri diartikan sebagai usaha untuk mendorong guru baik secara perorangan maupun kelompok agar mereka mau melakukan berbagai perbaikan dalam menjalankan tugasnya. Kegiatan bimbingan dilakukan dengan cara membangkitkan kemauan, memberi semangat, mengarahkan dan merangsang untuk melakukan percobaan, serta membantu
menerapkan sebuah prosedur mengajar yang baru.
Fungsi penilaian adalah untuk mengukur tingkat kemajuan yang diinginkan, seberapa besar telah dicapai dan penilaian ini dilakukan dengan beragai cara seperti test, penetapan standar, penilaian kemajuan belajar siswa, melihat perkembangan hasil penilaian sekolah serta prosedur lain yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan.

Jumat, 18 Januari 2013

Contoh soal Analisis faktor untuk


JAWABAN SOAL UJIAN MID SEMESTER PEP 2010 DATA PATH 3
JIKA X1 DIGUGURKAN BESERTA KONSEKUENSINYA

Mata Kuliah    : Model Persamaan Struktural
Pengampu      
Hari/Tanggal   : Selasa/  Nopember 2010
Waktu             : 10.00 – 12.30 Wib

Mahasiswa     
NIM                :
Nomor             : GENAP (12)
Data                : PATH 3 (dengan mengeluarkan butir ke-1 pada awalnya)

JAWABAN:

1.      Analisis EFA
a.       Analisis I (Pertama)
1)      Hasil KMO dan Bartlett’s Test

KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy.
.503
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square
43.034
df
21
Sig.
.003

Hasil di atas memperlihatkan bahwa KMO > 0,50 dan Bartlett’s Test of Sphericity < 0,05 dengan demikian analisis dapat dilanjutkan

2)      Hasil Anti Image Matrice

Anti-image Matrices


X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
Anti-image Covariance
X1
.942
.134
.056
-.003
.009
.075
-.105
X2
.134
.727
-.311
-.210
.051
.018
-.105
X3
.056
-.311
.745
.198
-.009
.021
-.125
X4
-.003
-.210
.198
.909
.015
-.038
.009
X5
.009
.051
-.009
.015
.987
-.085
-.005
X6
.075
.018
.021
-.038
-.085
.972
.085
X7
-.105
-.105
-.125
.009
-.005
.085
.916
Anti-image Correlation
X1
.560(a)
.162
.067
-.003
.009
.078
-.113
X2
.162
.502(a)
-.423
-.259
.060
.021
-.129
X3
.067
-.423
.509(a)
.241
-.011
.025
-.152
X4
-.003
-.259
.241
.300(a)
.016
-.040
.010
X5
.009
.060
-.011
.016
.543(a)
-.086
-.005
X6
.078
.021
.025
-.040
-.086
.575(a)
.090
X7
-.113
-.129
-.152
.010
-.005
.090
.637(a)
a  Measures of Sampling Adequacy(MSA)